Asrinesia.com – Pemerintah memiliki pekerjaan rumah (PR) yang cukup besar untuk dapat mengatasi tingginya gap antara ketersediaan dan kebutuhan (backlog) perumahan di Indonesia. Untuk itu, masalah backlog tidak akan dapat diselesaikan dengan kebijakan yang biasa-biasa saja.Hal itu ditegaskan Wakil Ketua Komisi V DPR-RI, Ridwan Bae kepada wartawan.
“Kami kira perlu terobosan kebijakan yang lebih menyeluruh dan aplikatif dari pemerintah sehingga dapat diterapkan dilapangan untuk tetap menjaga pasokan rumah dan juga keterjangkauan masyarakat dalam memiliki rumah layak huni,” ujarnya.
Berdasarkan data Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) Tahun 2020, angka backlog kepemilikan perumahan mencapai 12,75 juta. Jumlah itu belum termasuk penambahan keluarga baru yang diperkirakan mencapai 800 ribu unit per tahun.
“Artinya, jika tidak segera diatasi dengan cara yang benar maka angka backlog logikanya akan terus membengkak,” kata Ridwan Bae.
Ridwan Bae mendorong pemerintah tetap mengedepankan komunikasi yang baik dengan seluruh pemangku kepentingan (stakeholder) perumahan baik kalangan perbankan, pengembang swasta, Perumnas dan juga media massa untuk mencari solusi terhadap berbagai kendala penyediaan rumah rakyat dilapangan sehingga masalah backlog dapat teratasi optimal.
Ridwan Bae menyebutkan dirinya menerima banyak laporan jika saat ini pasokan rumah termasuk untuk masyarakat berpenghasilan rendah (MBR) terkendala akibat adanya beberapa hambatan perizinan seperti aturan Persetujuan Bangunan Gedung (PBG) sebagai pengganti Izin Mendirikan Bangunan (IMB) dan penetapan Lahan Sawah Dilindung (LSD).
“Pemerintah perlu berkomitmen untuk memastikan program pembangunan rumah bersubsidi ini berjalan dengan baik. Berbagai hambatan yang ada baik dari sisi suplai maupun sisi permintaan jangan dibiarkan saja, tetapi segera diselesaikan. Harus diingat bahwa memiliki rumah layak adalah hak asasi setiap warga negara,” tegasnya.
Ketua Umum Konsorsium Nasional Perumahan Rakyat (Kornas-Pera), juga pengamat hukum properti Muhammad Joni menyampaikan, penting pemerintah untuk segera menyelesaikan hambatan dan jalan terjal yang masih terjadi dalam penyediaan rumah khususnya untuk MBR. Ia meminta ada target waktu untuk penyelesaian hambatan dalam penyediaan perumahan tersebut.
“Segera bereskan terutama PBG dan LSD ini. Kita akan terus monitor. Jangan ada hambatan dalam penyediaan perumahan, karena perumahan ini tanggung jawab pemerintah. Justru kita melihat pemerintah kerapkali ugal-ugalan dalam membuat kebijakan perumahan. Khusus persoalan LSD, harus diselesaikan tanpa merugikan apalagi merenggut hak-hak orang lain, mengingat ada 175 surat complain terkait verifikasi lapangan LSD,” ujar Joni pada Diskusi Forwapera bertajuk “Jalan Terjal Penyediaan Perumahan di Indonesia” yang diadakan Selasa (20/09/2022).
Dia menegaskan jika pemerintah ingin mengamankan ketahanan pangan seharusnya pemerintah lebih menggencarkan reforma agrarian atau resdistribusi tanah untuk petani sesuai prinsip Land to the Tiller. Dari pada justru mengeluarkan beleid LSD dengan verifikasi faktual an sich.
Kemudian dia juga mengkritik teknis verifikasi lapangan sepihak oleh pemerintah pusat, yang seharusnya melibatkan public misalnya untuk program perumahan rakyat ada asosiasi pengembang atau LSM/NGO yang dapat dilibatkan sehingga verifikasi tidak keliru atau merugikan hak konstitusi orang lain. Menurut Joni, Pasal 28H ayat (4) UUD 1945 menjamin hak milik pribadi dan hak milik tersebut tidak boleh diambil alihsecara sewenang-wenang oleh siapapun.
“Keputusan penerapan hasil verifikasi LSD juga tidak bias begitu saja meniadakan atau mengabaikan Perda RTRW/RDTR yang merupakan produk hokum sah dari prosedur legislasi eksekutif dan legislative daerah,” ujar Joni yang juga seorang lawyer tersebut.
Sedangkan untuk mencegah kontra produktif LSD dengan program perumahan rakyat, dia mendesak pemerintah focus saja pada pembentukan Bank Tanah yang merupakan amanah Undang-Undang Cipta Kerja (UUCK) daripada membingungkan masyarakat dengan aturan seperti LSD tersebut.
Jauh dari Harapan
Di diskusi yang sama, Pengamat Perumahan Anton Sitorus menekankan bahwa masalah perumahan adalah hal fundamental dan kebutuhan asasi manusia. Namun sayang, apa yang pemerintah lakukan selama ini dalam penyediaan perumahan masih jauh dari harapan. Begitu banyak masalah klasik yang terus muncul terutama dalam hal perizinan seperti PBG dan LSD.
“Kita disektor perumahan ini terus diselimuti masalah-masalah yang terus berulang terutama dalam hal perizinan. Hanya namanya saja yang berbeda. Seperti PBG dan LSD ini adalah soal klasik dalam versi terbaru. Ini suatu hambatan yang mungkin memang sengaja dibuat untuk mempersulit saja,” ungkap Anton.
Dia menduga terbitnya aturan seperti PBG dan LSD terjadi akibat pemerintah tidak memilik isumber daya manusia (SDM) yang mengerti tentang perumahan dengan baik. Akibatnya, kebijakan yang dikeluarkan ngaco dan kerap berubah-ubah.
Menurut Anton,penyediaan perumahan bagi masyarakat luas di Indonesia perlu dilakukan melalui program yang serius dan ambisius terutama oleh negara. Oleh karenanya, tidak bias dikerjakan dalam lembaga yang memiliki focus ganda.
Ketua Umum DPP Realestat Indonesia (REI) PaulusTotok Lusida yang dihubungi wartawan mengatakan PBG memang perlu segera dicarikan solusinya. Pasalnya, saat ini ada keengganan pemerintah daerah (Pemda) untuk menerbitkan PBG. Hal itu disebabkan aturan PBG ini diatur UU yakni UUCK yang memerintahkan Pemda mengeluarkan PBG lewat peraturan daerah (Perda).
“Nah, Pemda tetap tidak berani mengeluarkan PBG hanya dengan Retribusi IMB saja, jadi tetap alasannya tunggu Perda-nya. Butuh intervensi kuat dari pemerintah pusat dan Komisi V DPR RI untuk menuntaskan kendala perizinan yang sudah setahun ini terjadi,” kata Totok.
Di sisi lain, ungkapnya, ada beberapa daerah yang tetap berani mengeluarkan IMB karena merujuk putusan Mahkamah Konstitusi (MK) bahwa dua tahun sampai dengan perbaikan UUCK dilakukan, Pemda bias memakai aturan lama yakni IMB.Tetapi masalahnya, IMB tidak bias masuk dalam data Sikumbang (SistemIn formasi Kumpulan Pengembang) sebagai syarat realisasi rumah bersusidi.
“Yang diminta (data Sikumbang) tetap PBG. Semua kerancuan dan kebingungan ini sampai kapan? Birokrasi ini mau menghambat atau bagaimana? UUCK itu dibuat untuk tujuan mempermudah, bukan justru mempersulit. Kami menilai perlu ada revolusi dalam perizinan di Indonesia,biar kejadian seperti ini tidak adalagi,” tegasTotok.
Terkait masalah LSD, dia mengeluhkan banyaknya kasus perumahan atau pergudangan yang sudah dibangun tetapi tiba-tiba sekarang ditetapkan sebagai LSD. Akibatnya, pembangunan dan pasokan rumah menjadi terhambat. Padahal sebagian besar pengembang membangun dengan memakai uang bank, dimana ada cost of fund termasuk bunga yang harus tetapdi bayar.Totok menyebutkan, sebagian besar pengembang rumah bersubsidi adalah UMKM yang perlu dibantu dan didukung.
Hal senada dikatakan Wakil Ketua Umum DPP Apersi, Mohammad Solikin. Menurutnya, hingga saat ini hanya beberapa daerah saja yang sudah menerbitkan PBG. Kondisi ini mempersulit pengembang dalam memastikan pasokan rumah bersubsidi.
“Demikian pula terkait LSD, aturan ini dikeluarkan serampangan sekali. Perumahan yang sudah ada izin dan sertifikat induknya kok tiba-tib aja di LSD. Padahal kontribusi pajak developer itu tidak sedikit untuk negara, jadi mohon kami juga diperhatikan,” kata Solikin.
Kedepan, dia mendorong pentingnya urusan perumahan diurus oleh kementerian sendiri. Hal itu penting untuk membantu mengsinkronkan aturan yang akan diterapkan. Pengalaman selama ini, ungkap Solikin, butuh bertemu beberapa lembaga Negara dulu untuk bisa mengsingkronkan satu aturan saja. Itu pun tidak ada jaminan masalah tuntas.