Satu diantara sedikit Arsitek Indonesia yang terjun menekuni bidang “Pelestarian Bangunan Kuno atau Cagar Budaya” adalah Danang Triratmoko. Tiga buah karyanya masuk dalam nominasi IAI Award 2020. Berikut adalah cuplikan penjelasan Danang tentang perjalanan dan kendala yang dihadapi dalam melestarikan bangunan cagar budaya.
Saya mulai berkecimpung di pekerjaan bangunan kuno (cagar budaya) sejak 10 tahun yang lalu. Salah satu persyaratan sebagai perencana bangunan cagar budaya adalah Arsitek harus berlisensi IPTB (Ijin Pelaku Teknis Bangunan) kelas A yang mungkin jumlahnya pada saat itu belum banyak. IPTB A itu diperoleh karena pengalaman cukup panjang dan cukup sering merancang bangunan dengan tingkat kompleksitas tinggi seperti bangunan tinggi diatas 8 lantai, atau rumah sakit, hotel, yang melibatkan banyak disiplin ilmu lain dalam satu proyek. Beruntung saya sebelumnya pernah bekerja di perusahaan besar selama lebih kurang 15 tahun, sehingga banyak proyek besar saya terlibat.
Kendala yang dialami dalam melestarikan bangunan sebenarnya lebih pada memberi pengertian kepada pemilik bangunan yang kurang paham mengenai berharganya asset cagar budaya yang dimilikinya. Pemilik itu bisa pribadi atau sebuah badan usaha. Kalau akhirnya tidak ada titik temu, biasanya saya mengalah untuk tidak terlibat dalam proyek tersebut, karena ini sudah melawan “hati nurani” dan secara tidak langsung umumnya melanggar “kode etik”. Jadi bukan sekedar melihat nilai jasa perencanaannya saja walaupun saat ini nilai jasa itupun “belum sepadan” dengan “effort” yang dilakukan oleh perencana/perancang. Diantara waktu luangnya, Danang membuat sketsa arsitektur, khususnya bangunan cagar budaya sebagai hobinya. Profil Danang Triratmoko akan dimuat di majalah Asrinesia edisi mendatang. Ditunggu ya.
Penulis : @sudarmadireny
Profil : Danang Triratmoko @dhdt.architects
Foto : Koleksi Pribadi