Asrinesia.com – Pemerintah akan memindahkan ibukota Indonesia dari Jakarta ke luar Pulau Jawa. Berkaitan dengan pemindahan dan pembangunan ibukota baru yang tengah disiapkan pemerintah tersebut. Persatuan Realestate Indonesia (REI) sebagai asosiasi pengembang tertua dan terbesar di Indonesia, siap mewujudkan cita-cita tersebut.
Penegasan kesiapan tersebut dikemukanan oleh Ketua Umum DPP REI, Soelaeman Soemawinata, pada acara buka puasa bersama DPP REI dengan media di Jakarta, Rabu (22/5/2019).
Soelaeman mengungkapkan, Anggota REI selama ini telah mengembangkan 34 kota baru di Jabodetabek, dengan luas areal rata-rata sekitar 60 ribu hektare. Hampir semuanya kini menjadi kota-kota baru yang mandiri termasuk menciptakan sentra-sentra pemerataan ekonomi masyarakat.
“Contohnya di BSD, Bintaro, Lippo Karawaci dan sebagainya itu luasnya rata-rata mencapai 60 ribu hektare, dan itu dikembangkan sekitar 20-30 tahun lamanya,” kata Soelaeman yang akrab disapa Eman.
Untuk itu, dia optimistis bisa membantu pemerintah dalam mengembangkan ibukota baru. Menurut Eman, pengembangan kawasan baru sebaiknya memang banyak melibatkan swasta dan ahli-ahli di bidangnya masing-masing untuk saling bekerjasama. Sinergi dan koordinasi dibutuhkan mengingat pengembangan kawasan butuh waktu yang panjang.
Sebelumnya, Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas, Bambang Brodjonegoro mengestimasi pembangunan ibukota baru akan membutuhkan anggaran sekitar Rp 466 triliun.
Namun dari kebutuhan tersebut, dana yang disiapkan dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) hanya sekitar Rp 30,6 triliun, dan itu pun bersifat multiyears. Sementara sisanya pemerintah akan menggandeng BUMN serta mengandalkan keterlibatan swasta antara lain melalui skema Kerjasama Pemerintah dan Badan Usaha (KPBU).
Menurut Eman, swasta khususnya pengembang tidak masalah bila diminta mendanai pembangunan fasilitas hunian dan komersial di ibukota baru. Setidaknya, ungkap dia, akan ada captive market sebanyak 1,5 juta orang di ibukota baru tersebut yang dari sisi properti pasti membutuhkan rumah, kawasan komersil, hotel, ruang pertemuan, pusat perbelanjaan, sarana hiburan dan rekreasi, serta fasilitas kota lainnya.
“Saya yakin pengembang tentu tertarik melihat captive marketnya yang besar,” ujar pengembang yang juga seorang perencana kota (planner) tersebut.
Presiden Federasi Realestat Dunia (FIABCI) Asia Pasifik itu menjamin swasta terutama pengembang anggota REI mampu membiayai sendiri pembangunan ibukota baru yang menurut rencana bakal dibangun di Kalimantan Tengah.
“Investasi swasta tidak perlu dari dana pemerintah. Kami bisa pakai equity
dan dana bank. Sedangkan untuk pengembangan beberapa proyek skala besar kami
bisa bentuk konsorsium. Pembiayaan enggak ada masalah, karena captive marketnya
sudah jelas,” papar Eman.
Butuh Kepastian
Namun demikian, ada beberapa
hal yang perlu mendapat perhatian serius pemerintah dalam pengembangan kota
baru. Pertama,
aspek geografis dimana mencakup perhitungan potensi bencana, tanah gambut atau
bukan, dan ketersediaan infrastruktur awal seperti listrik, air, serta akses
jalan.
“Lebih baik bila lokasi ibukota baru nanti tidak jauh dari pelabuhan, sehingga
biaya logistik untuk pengembang tidak terlalu mahal,” ujar Eman.
Kedua, untuk menciptakan kota baru dibutuhkan regulasi atau payung hukum yang kuat, sehingga pengerjaan proyek memiliki kejelasan hukum. Pengelolaan ibukota baru nantinya juga perlu diatur sebuah otorita yang memiliki kewenangan apakah setingkat Pemerintah Kota (Pemkot) atau dibentuk Badan Pengelola (BP) seperti BP Batam.
Ketiga, terkait dengan
investasi, dibutuhkan insentif-insentif bagi swasta yang menjadi pionir dan
membiayai sendiri pembangunan kota baru.
Keempat, terkait jaminan
keamanan (secure) tanah dan pengendalian tanah. REI berpendapat
pemerintah perlu mengendalikan tata ruang dan mengimplementasikan tata ruang
tersebut dengan baik.
Dengan begitu, maka swasta lebih mudah melakukan pembangunan tanpa perlu direpotkan dengan negosiasi rumit untuk menggunakan atau mendapatkan tanah.
“Pemerintah harus mampu mencegah dan mengontrol harga tanah, sehingga swasta tidak berspekulasi untuk membeli tanah di situ. Ini juga sangat penting bagi pengembang,” pungkas Eman.