Belum banyak yang menganggap Sumba sebagai destinasi wisata unggulan Indonesia, namun demikian, sebetulnya Sumba mempunyai potensi wisata yang luar biasa. Dengan luas wilayah 10.710km2 , bandingkan dengan Bali yang 5.780km2 , penduduk Sumba hanya sekitar 400,000 jiwa, sehingga terkesan Sumba masih sepi dan asli, ini berarti destinasi wisatanya belum digarap secara komersil. Kaya dengan keindahan alam dan peninggalan kebudayaan leluhur yang masih terjaga, sekarang adalah waktunya yang sangat tepat untuk menikmati Sumba.
Marapu
Kendati agama Islam, Katolik dan Kristen sudah berkembang secara luas di Sumba, namun demikian aliran kepercayaan Marapu masih dipegang teguh oleh masyarakat Sumba. Marapu berarti yang dipertuan atau yang dimuliakan, orang Sumba percaya pada pemujaan arwah leluhur. Mereka yakin bahwa arwah leluhur tetap menjaga kehidupan mereka, oleh karena itu hubungan dengan arwah leluhur harus selalu terjaga. Melalui upacara adat dan perayaan yang dilakukan menurut aturan yang benar, mereka percaya bahwa roh para leluhur akan memberkati mereka. Leluhur akan memberi mereka kedamaian, baik dalam keluarga maupun dengan tetangga, leluhur juga memberi mereka kesehatan dan hasil panen yang melimpah.
Desain dari Kampung Adat dengan rumah-rumah tradisionalnya masih berdasarkan pada kepercayaan Marapu, semuanya mempunyai makna.
Penerapan dari kepercayaan Marapu ini juga terlihat dalam arsitektur moderen seperti Rumah Budaya Sumba yang didirikan oleh Pater Robert, atas bantuan dari arsitek Yori Antar dan Yayasan Tirto (Aqua). Antara lain terlihat pada bentuk bangunan, hiasan-hiasan ukiran dan simbol-simbol pada rumah budaya ini yang memenuhi kaidah-kaidah Marapu.
Kampung Adat Tradisional
Ada beberapa Situs Kampung Adat di Sumba, di antara yang terpelihara dengan baik adalah Ratenggaro dan Praijing. Rumah adat di Sumba dibangun atas dasar prinsip dan simbol yang penuh makna, yang merupakan warisan dari leluhur.
Kampung adat pada umumnya dikelilingi oleh pagar batu yang selain berupa tanda batas juga berfungsi untuk melindungi penghuni kampung dari musuh. Biasanya lokasi kampung adat terletak di dataran yang agak tinggi, ini juga demi keamanan dari musuh.
Kebudayaan megalitik di Sumba masih ada hingga kini, kuburan dengan batu megalitik berukuran besar banyak terdapat di seluruh Sumba. Batu-batu ini terbuat dari batu wadas yang keras, makin besar batu kubur melambangkan makin kayanya keluarga yang dikubur. Ada jenis batu kubur mirip marmer yang terkenal mahal yaitu batu Tarimbang, diambil dari pantai Tarimbang. Kuburan di Sumba mirip dengan altar batu besar, yang pembuatannya harus seizin Imam Marapu, dimulai dengan upacara Tingi Watu (tarik batu). Ratusan bahkan ribuan orang dikerahkan untuk menarik batu besar yang beratnya kurang lebih 40-70 ton, penarikan batu ini biasanya berlangsung selama beberapa hari.
Salah satu kampung adat yang terindah di Sumba adalah Ratenggaro, terletak di Sumba Barat Daya berjarak sekitar 35 km dari bandar udara Tambolaka dan memerlukan waktu sekitar 1.5 jam untuk mencapainya dengan mobil sewaan.
Deretan kuburan batu megalitikum menjadi suatu panorama yang unik begitu kami memasuki Kampung Adat Ratenggaro, menambah kecantikan dari Kampung Adat ini. Arti dari Ratenggaro sendiri adalah Rate berarti kuburan dan Garo adalah nama dari orang-orang Garo. Batu-batu kubur yang digunakan berukuran raksasa berhiaskan pahatan nama-nama di tiap kuburan ini.
Dengan berjalan kaki kami melewati kuburan ini memasuki perkampungan adat yang sangat indah, rumah-rumah adat di Sumba disebut Uma Kelada. Ini adalah rumah panggung beratap jerami dengan menara di tengahnya. Lokasi dari Kampung Adat Ratenggaro terletak di muara sungai Waiha dan pantai Ratenggaro, dengan di seberangnya terlihat Kampung Adat Waingapu. Benar-benar pemandangan yang amat menakjubkan.
Selain Ratenggaro, Kampung Adat yang juga termasuk paling indah adalah Praijing di Tebara, Kecamatan Waikabukak, Sumba Barat. Di kampung ini ada 38 rumah tradisional dari sebelumnya 42, berkurang disebabkan kebakaran di tahun 2000. Dari pelataran batu di atas bukit, pengunjung bisa menikmati keindahan seluruh kampung ini, yang berlatar kota Waikabukak dengan hamparan panorama hijau.
Prinsip Desain Rumah Adat Sumba
Rumah Adat Sumba disebut juga Uma Bokulu berarti rumah besar, atau Uma Mbatangu berarti rumah menara. Bangunannya berbentuk panggung dengan atap menjulang seperti menara, yang terdiri dari tiga bagian. Bagian bawah disebut Lei Bangun digunakan untuk memelihara ternak, bagian tengah disebut Rongu Utama untuk penghuni beraktivitas, dan bagian atas yang berbentuk menara disebut Uma Daluku, digunakan untuk tempat menyimpan bahan makanan.
Bagian menara ditopang oleh 4 tiang utama yang berupa sokoguru terbuat dari tiang kayu besar yang kokoh, sokoguru ini melambangkan 4 mata angin sedangkan bagian tengahnya melambangkan matahari. Tiap tiang dilingkari oleh cincin yang terbuat dari kayu atau besi, melambangkan ‘lingga’ atau kelamin laki-laki dan ‘yoni’ atau kelamin perempuan, yang dihubungkan dengan kesuburan atau seksualitas. Tiang laki-laki terletak dekat dengan ruang tamu tempat laki-laki berdiskusi sedangkan tiang perempuan terletak dengan dapur tempat ibu bekerja. Penduduk Sumba percaya bahwa arwah para leluhur bersemayam di menara ini sehingga titik ini merupakan tempat yang paling istimewa dalam sebuah rumah. Tungku untuk memasak diletakkan tepat di titik ini dan menara adalah tempat untuk mengawetkan makanan dan menyimpan benda-benda pusaka.
Rumah-rumah ini terletak di tengah pelataran terbuka dimana di dalamnya ada tempat suci yang disebut ‘natara padu’ berarti tempat suci. Pelataran ini digunakan untuk berbagai upacara adat maupun atraksi seni budaya. Di sekeliling pelataran ini juga terdapat kuburan megalitik tempat dikuburnya para leluhur. Tinggi dari rumah-rumah ini terlihat hampir sama, namun demikian sebetulnya terdapat perbedaan ketinggian dimana rumah ketua adat adalah yang atapnya paling tinggi. Tingginya atap ini menjadi simbol status dari kampung adat. Setiap rumah ditinggali oleh suatu keluarga besar.
Penutup
Sumba memiliki pesona alam dan kebudayaan yang luar biasa. Ada berbagai Kampung Adat Tradisional yang memukau, tentunya ini memerlukan usaha keras dan biaya besar untuk menjaganya. Potensi pariwisata ini harus dikembangkan demi kemajuan masyarakat Sumba sendiri, namun demikian kemajuan jangan merusak alam dan budaya Sumba. Hal-hal sepele misalnya, jangan memberi uang kepada anak-anak yang meminta uang, tapi berikan pensil, permen dan kue-kue saja. Juga pembangunan harus ditata agar tidak ada bangunan-bangunan liar yang tentunya akan menghancurkan keasrian Sumba. Jika ini ditata dengan baik, niscaya 5 tahun lagi pariwisata Sumba akan semakin bertumbuh, dengan keasrian alam yang terus terjaga.
Penulis & Foto : Halistya Pramana